KALUNG MUTIARA

Alkisah ada seorang gadis kecil cantik berusia tujuh tahun, dan bermata indah. Suatu hari, ketika ia dan ibunya sedang berbelanja di mall, ia melihat sebuah kalung mutiara tiruan.

Benda ini terlihat indah, meskipun harganya hanya dua puluh ribu rupiah. Anak ini sangat ingin memiliki kalung tersebut dan mulai merengek kepada ibunya.

Akhirnya sang ibu menyetujuinya. Katanya, “Baiklah anakku. Tetapi ingatlah bahwa meskipun kalung itu sangat mahal, ibu akan membelikannya untukmu. Tapi nanti, sesampainya di rumah, kita buat daftar pekerjaan yang harus kamu lakukan sebagai gantinya. Dan, biasanya kan Nenek selalu memberimu uang pada hari ulang tahunmu. Itu juga harus kau berikan kepada ibu.

Si gadis berpikir sejenak, lalu berkata, “Oke.”

Mereka pun lalu membeli kalung tersebut. Setiap hari, sang gadis dengan rajin mengerjakan pekerjaan yang ditulis dalam daftar oleh ibunya. Uang yang diberikan oleh neneknya pada hari ulang tahunnya pun diberikan kepada ibunya. Tak lama kemudian, perjanjiannya dengan ibunya pun selesai.

Kini ia mulai mengenakan kalung barunya dengan sangat bangga kemana pun ia pergi: ke TK-nya, ke gereja, ke supermarket, ketika ia bermain, berjalan-jalan, bahkan tidur, kecuali mandi.

Gadis kecil ini juga memiliki seorang ayah yang sangat menyayanginya. Setiap menjelang tidur, sang ayah akan membacakan sebuah buku cerita untuknya.

Suatu hari, seusai membacakan cerita, sang ayah bertanya kepadanya, “Anakku, apakah kamu menyayangi ayah?”

“Pasti, yah. Ayah tahu betapa aku menyayangi Ayah.”
“Kalau kau memang mencintai ayah, berikanlah kalung mutiaramu padaku.”
“Ya, ayah, jangan kalung ini. Ayah boleh ambil mainanku yang lain. Ayah boleh ambil Bonnie, bonekaky yang terbagus. Ayah juga dapat ambil pakaian-pakainnya yang terbaru. Tapi jangan ambil kalungku.”
“Ya, anakku, tidak apa-apa. Tidurlah.” Sang ayah lalu mencium keningnya dan pergi, sambil berkata, “Selamat malam, anakku. Semoga mimpi indah.”

Seminggu kemudian, setelah membacakan cerita, ayahnya bertanya lagi, “Anakku, apakah kamu menyayangi Ayah?”
“Pasti, yah. Ayah kan tahu aku sangat mencintaimu.”
“Kalau begitu, bolehkan ayah minta kalungmu?”
“Ya, jangan kalungku, dong. Ayah boleh ambil Koki, kuda-kudaanku, ingat kan? Itu mainan favoritku. Rambutnya panjang, dan lembut. Ayah juga akan bisa memainkan rambutnya, mengepangnya, dan sebagainya. Ambillah, yah. Asal ayah jangan minta kalungku. Ya?”
“Sudahlah, Nak. Lupakan saja,” kata sang ayah.

Beberapa hari setelah kejadian tadi, si gadis cilik terus berpikir, kenapa ayahny selalu meminta kalungnya, dan kenapa ayahnya selalu menanyainya apakah ia sayang padanya atau tidak. Beberapa hari kemudian, ketika ayahnya membacakan cerita, dia duduk dengan resah.

Malam itu, ketika ayahnya selesai membacakan cerita, dengan bibir gemetar ia mengulurkan tangannya yang mungil kepada sang ayah, sambil berkata, “Ayah, terimalah ini.”

Ia melepaskan kalung kesayangannya dan dengan penuh kesedihan ia menatap kalung tersebut berpindah ke tangan sang ayah.

Sang ayah tersenyum. Dengan satu tangan ia menerima kalung mutiara tiruan kesayangan anaknya. Dengan tangan yang lainnya, ia mengambil sebuah kotak beludru biru mungil dari saku bajunya. Di dalam kotak beludru itu tergeletak seuntai kalung mutiara yang asli, sangat indah, dan sangat mahal. Ia telah menyimpannya begitu lama untuk anak yang dikasihinya. Ia menunggu dan menunggu agar anaknya mau melepaskan kalung mutiara plastik yang murahan dari lehernya, sehingga ia dapat mengalungkan kepadanya kalung mutiara yang asli.

Dari cerita tadi dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai kepercayaan. Kepercayaan adalah buah dari suatu hubungan. Kepercayaan bukanlah buah dari suatu perhitungan saja. Kepercayaan menghasilkan hubungan yang lebih mendalam atau keintiman. Kepercayaan juga berarti kesedihan untuk meninggalkan kenyamanan, kesediaan mengambil resiko, serta menempuh alur pendakian iman yang tidak biasa. Lebih lanjut lagi kepercayaan mengasilkan kedekatan khusus yang membuat orang menjadi lebih memahami rancangan-Nya. Sebaliknya ketakutan tidak mengasilkan kepekaan pada kehendak Tuhan, tetapi hanya melahirkan kepekaan pada ketakutan-ketakutan baru.

Sumber: Robby Chandra dalam bukunya yang berjudul Landasan Pacu Kepemimpinan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar